Jakarta, Pelanginews
Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta secara intensif melibatkan pemerintah daerah (pemda) penyangga untuk mengelola air sungai yang masuk ke wilayahnya agar jangan sampai terjadi pencemaran dan penumpukan sampah.
“Jakarta itu hilirnya 13 sungai. Jadi memang kalau melihat kondisi yang ada sekarang itu, terlalu berat beban cemaran yang sampai ke Jakarta itu datangnya dari hulu. Sehingga penting untuk melibatkan pemda penyangga,” kata Ketua Subkelompok Perencanaan Bidang Pengendalian Banjir dan Drainase Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Maman Supratman dalam seminar daring di Jakarta, Selasa dilansir dari Antara.
Maman mengatakan perlu ada satu kebijakan atau aturan dalam mengelola air sungai dari hulu hingga ke hilir. Ini seperti di Belanda, Luksemburg, dan Belgia yang menerapkan kebijakan terkait untuk menjaga mutu.
“Belanda itu di hilir, kalau kita lihat hulunya Luxemburg, Belgia, itu mereka punya standar kualitas misalnya dari Luksemburg ke Belgia itu tidak boleh mutunya sekian, kalau melanggar kena denda, itu dari sisi kebijakan,” kata dia.
Di sisi lain, imbuh Maman, pengelolaan air sungai ini juga memerlukan partisipasi masyarakat semisal dengan mengajak mereka menerapkan sistem drainase yang baik sehingga air limbah di rumah tangga masing-masing tak langsung masuk ke sungai.
Dia mengakui air sungai di Jakarta tak bermasalah dari sisi kuantitas, namun tak demikian untuk segi kualitas karena tingkat beban cemaran yang cukup kuat di Ibu Kota.
Cerita tentang sungai Jakarta
Kemudian, terkait pemulihan sungai-sungai di Jakarta dari cemaran, sejarawan JJ Rizal melalui acara yang sama juga berpendapat perlunya dukungan berbagai pihak. Ini, kata dia, yang tidak dilakukan selama periode panjang upaya pemulihan sungai-sungai di Jakarta yang tercemar sampah sejak era kolonial.
Rizal berkisah pada zaman kolonial, Jakarta memiliki sungai yang begitu jernih. Pelabuhan Sunda Kelapa kala sempat terkenal dan banyak orang mampir salah satunya untuk mengisi air bersih.
“Jadi dalam periode yang panjang bersama terbentuknya dataran Jakarta memang sungai keruh tapi ada periode tertentu sungainya sangat jernih. Kita punya banyak arsip tentang bagaimana sungai-sungai di Jakarta itu sangat bersih,” jelas dia.
Tetapi, setelah sekitar tahun 1730, sungai berubah menjadi kotor dan pegawai perusahaan Hindia Timur (VOC) di Nusantara dikatakan punya kontribusi dalam hal ini.
Rizal mengatakan mereka yang kala itu harus mencari nafkah tambahan karena tak mendapatkan gaji layak menjalankan bisnis gula.
Bisnis ini mereka pilih karena dapat melipatgandakan uang dengan cepat. Mereka lalu membuka lahan sepanjang sungai untuk dibuat menjadi perkebunan tebu.
Namun, mereka kalah bersaing dengan pedagang dari Amerika Latin. Mereka meninggalkan bisnis gula dan menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.
“Sungai dijadikan tong sampah. Semuanya dibuang sungai dan sungai itu ujungnya di Kota Batavia. Itulah detik awal sungai-sungai di Jakarta mulai rusak dan menimbulkan bencana,” kata Rizal.
Menurut Rizal, upaya memulihkan kondisi sungai termasuk sulit. Dia menyebut sejumlah program yang kemudian digagas pemerintah belum membuahkan hasil manis. Dia berpendapat, upaya yang dilakukan saat itu sepihak dan tidak melibatkan pihak secara besar-besaran.
Di sisi lain, masyarakat termasuk di warga Jakarta juga perlu digandeng dan diajak berpikir bahwa sungai-sungai di Jakarta bagian yang tidak terpisahkan dari mereka, bagian penting dari lahirnya kota Jakarta dan bagian yang penting dari pembentukan tradisi kota Jakarta.
“Dan kalau itu sudah bisa dihidupkan, otomatis menurut saya, aspek ekonomi, ekologi itu bisa,” demikian kata dia. (lm)