Ilusi di Balik DTSEN: Ketika Data Menggusur Partisipasi Rakyat Miskin

Rio A. Putra Juru Bicara Koalisi Warga Jakarta untuk Keadilan ‎

Pemerintah resmi mengganti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menjadi Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2025. Perubahan ini disebut sebagai langkah besar menuju penyaluran bantuan sosial (bansos) yang lebih akurat, transparan, dan berkeadilan.

‎Kementerian Sosial, di bawah kepemimpinan Gus Ipul dan Agus Jabo Priyono, menegaskan DTSEN akan menjadi basis tunggal seluruh program perlindungan sosial. Dengan sistem ini, pemerintah mengklaim dapat menghindari tumpang tindih data penerima bantuan—seperti kasus aparatur sipil negara, pensiunan, atau bahkan orang yang telah meninggal dunia, yang masih tercatat sebagai penerima bansos di era DTKS.

‎Secara teknokratis, perubahan ini terlihat progresif. Namun di balik narasi “modernisasi data”, terdapat persoalan serius: rakyat miskin kembali didepak dari proses pengambilan keputusan atas nasib mereka sendiri.

‎Dari Musyawarah ke Algoritma

‎DTKS memang tidak sempurna. Banyak kesalahan data, lemahnya pembaruan, hingga potensi manipulasi oleh aparat daerah. Tetapi, sistem lama ini masih menyisakan satu hal penting — partisipasi sosial.
‎Melalui musyawarah desa atau musyawarah kelurahan, warga miskin bisa mengajukan keberatan, memperbaiki data, dan ikut menilai siapa yang pantas menerima bantuan. Ada ruang dialog, ada unsur keadilan sosial yang hidup di akar rumput.

‎Sebaliknya, DTSEN dibangun sepenuhnya di atas logika integrasi data lintas kementerian. Pendekatannya digital, berbasis pendapatan per kapita, dan dikendalikan secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Proses yang dulu bersifat partisipatif kini digantikan oleh ‘dashboard’ dan algoritma.

‎Data memang menjadi lebih rapi, tetapi keadilan sosial tidak lahir dari kerapian tabel. Keadilan sosial lahir dari pengakuan atas pengalaman hidup orang miskin — sesuatu yang tak bisa diukur oleh rumus matematis.

‎Teknokrasi Tanpa Empati

‎Pendekatan baru ini seolah menempatkan rakyat miskin hanya sebagai “objek data”, bukan subjek kebijakan. Pertanyaan sederhana muncul: siapa yang mengukur pendapatan per kapita keluarga miskin itu? Apakah ada petugas yang benar-benar memahami bahwa seorang buruh serabutan bisa bekerja seminggu penuh bulan ini, tetapi menganggur total bulan depan?

‎Alih-alih lebih tepat sasaran, pendekatan seperti ini justru berisiko menyingkirkan kelompok paling rentan: mereka yang hidup dalam kondisi tidak stabil, berpindah-pindah pekerjaan, dan sering tidak tercatat dalam sistem formal.

‎“Data yang bersih belum tentu adil,” ujar sosiolog kebijakan sosial, Nur Hidayati, dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia. “Masalah bansos bukan hanya soal akurasi data, tapi juga soal siapa yang punya suara untuk menentukan siapa yang miskin dan siapa yang tidak.”

‎Eksklusi Digital dan Demokrasi yang Menyusut

‎Penerapan DTSEN juga menuntut verifikasi data melalui sistem digital. Artinya, warga miskin harus mampu mengakses internet dan aplikasi tertentu untuk memperbarui atau mengoreksi data mereka. Padahal, survei BPS menunjukkan bahwa hampir 30 persen rumah tangga miskin di Indonesia masih tidak memiliki akses internet yang memadai.

‎Akibatnya, mekanisme koreksi data kini tak lagi berbasis komunitas, melainkan bergantung pada kemampuan individu mengakses sistem digital. Demokrasi sosial di tingkat lokal perlahan digantikan oleh otoritas digital yang eksklusif.

‎Data Tunggal, Kekuasaan Tunggal

‎DTSEN juga berpotensi memperkuat kontrol pemerintah pusat terhadap seluruh program bansos lintas daerah. Dalam konteks politik, data sosial yang begitu besar ini bisa menjadi sumber kekuasaan baru. Ia dapat menentukan siapa yang “layak” dan “tidak layak” menerima bantuan — dan dalam konteks politik elektoral, siapa yang bisa “dibantu” atau “dihapus” dari daftar penerima.

‎Ketika data menjadi instrumen politik, rakyat miskin kehilangan posisi tawar. Mereka tidak hanya kehilangan suara dalam musyawarah, tapi juga kehilangan hak untuk menentukan kebenaran tentang kondisi hidup mereka sendiri.

‎Ilusi Keadilan Sosial

‎DTSEN boleh saja disebut lebih modern, efisien, dan terintegrasi. Tetapi tanpa ruang partisipasi publik, ia hanyalah ‘ilusi keadilan sosial’. Keadilan bukan semata hasil pengolahan data, melainkan hasil dari relasi sosial yang adil antara negara dan warganya.

‎Reformasi data sosial seharusnya tidak menyingkirkan musyawarah warga, melainkan memperkuatnya dengan dukungan teknologi. Pemerintah bisa memanfaatkan DTSEN sebagai alat bantu, tetapi bukan alat pengganti partisipasi rakyat.

‎Modernisasi data tidak boleh mematikan demokrasi sosial. Karena tanpa suara rakyat miskin, Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional hanyalah nama lain dari ‘Data Tunggal Kekuasaan. (Rio A. Putra, Juru Bicara Koalisi Warga Jakarta untuk Keadilan)

Jasa Maklon Sabun

Pos terkait