Jakarta, Pelanginews
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 1 Juli 2016 lalu telah mengesahkan Perubahan Kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Sebelumnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut telah disahkan oleh Sidang Paripurna DPR-RI, di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/6) lalu.
Hal-hal penting yang diatur dalam UU ini antara lain, bahwa Partai Politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota merupakan Partai Politik yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik, kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang sudah memperoleh putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
“Dalam hal pendaftaran dan penetapan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud belum selesai, sementara batas waktu pendaftaran pasangan calon di KPU Provinsi atau KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kabupaten/Kota akan berakhir, kepengurusan Partai Politik yang berhak mendaftarkan pasangan calon adalah kepengurusan Partai Politik yang tercantum dalam keputusan terakhir menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia,” bunyi 40A ayat (5) UU ini.
Selain itu, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dibantu oleh pasangan calon perseorangan atau tim yang diberikan kuasa oleh pasangan calon menyerahkan dokumen syarat dukungan kepada PPS (Panitia Pemungutan Suara) untuk dilakukan verifikasi faktual paling lambat 28 (dua puluh delapan) Hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai.
“Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud dilakukan dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon,” bunyi Pasal 48 ayat (6) UU No. 10 Tahun 2016 itu.
Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud, terhadap pendukung calon yang tidak dapat ditemui pada saat verifikasi faktual, pasangan calon diberikan kesempatan untuk menghadirkan pendukung calon yang dimaksud di kantor PPS paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut.
“Jika pasangan calon tidak dapat menghadirkan pendukung calon dalam verifikasi faktual sebagaimana dimaksud, maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat,” bunyi Pasal 48 ayat (8) UU tersebut.
Sementara dalam hal pasangan calon perseorangan meninggal dunia terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon sampai dengan hari pemungutan suara, pasangan calon dinyatakan gugur serta tidak dapat mengikuti Pemilihan.
UU ini juga menyebutkan, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon, jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah.
Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud, pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya. “Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada, diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 54D ayat (3) UU tersebut.
UU ini juga menegaskan, bahwa Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Provinsi menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilihan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.
“KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi dengan menerbitkan keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan Bawaslu Provinsi,” bunyi Pasal 135A ayat (4) UU tersebut.
Sementara itu perkara perselisihan hasil Pemilihan, menurut UU ini, diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus, yang dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
“Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus,” bunyi Pasal 157 ayat (3) UU tersebut.
Peserta Pemilihan juga dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
“Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud bersifat final dan mengikat,” bunyi Pasal 157 ayat (9) UU tersebut.
UU ini juga menegaskan, Gubernur dan Wakil Gubernur dilantik oleh Presiden di ibu kota negara. ) Dalam hal Presiden berhalangan, pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Wakil Presiden. Dalam hal Wakil Presiden berhalangan, pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Menteri.
Adapun Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilantik oleh Gubernur di ibu kota Provinsi yang bersangkutan. Dalam hal Gubernur berhalangan, pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilakukan oleh Wakil Gubernur.
“Dalam hal Gubernur dan/atau Wakil Gubernur tidak dapat melaksanakan sebagaimana dimaksud, Menteri mengambil alih kewenangan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,” bunyi Pasal 164 ayat (3) UU tersebut.
Selanjutnya ketentuan mengenai jadwal dan tata cara pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
Menurut UU ini, pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017.
“Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022,” bunyi Pasal 201 ayat (3) UU tersebut.
Adapun pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018.
“Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada tanggal 1 Juli 2016 itu. (voa/amb)