Jakarta, Pelanginews
Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A (K) membantah bahwa air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang biru berbahan polikarbonat menyebabkan anak terkena autisme.
“Tidak ada kajian tentang pengaruh air dari galon guna ulang biru dengan penyakit autis pada anak, belum ada buktinya juga,” kata Rini di Jakarta, Senin.
Rini menuturkan belum ada bukti yang akurat menyangkut hal tersebut. Meski dulu pernah ada penelitian yang mendukung pengaruh zat tembaga logam terhadap penyebab autis, namun tidak ada kesimpulan yang membenarkan hal tersebut.
Akhirnya, penelitian terkait korelasi keduanya makin jarang dilakukan dan pencarian penyebab autis tidak lagi jadi perhatian sampai saat ini.
Menurutnya, air galon guna ulang biru itu justru sangat baik untuk kesehatan karena mengandung mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia karena mengandung mineral.
“Kalau dikatakan bisa menyebabkan autis, seharusnya sudah banyak anak-anak di Indonesia yang menderita autis karena yang minum air galon kan banyak. Tapi, nyatanya, yang autis bisa dihitung jari,” ucap Rini dilansir dari Antara.
Sejauh ini, autisme diketahui disebabkan oleh adanya masalah atau gangguan perilaku pada anak yang disebabkan banyak faktor, salah satunya faktor genetik.
Beberapa faktor risiko lain yang telah teridentifikasi seperti riwayat prematur, riwayat kejang pada masa bayi, dan karena infeksi masa lampau.
“Biasanya pada anak autis kita enggak mencari pasti penyebabnya. Pemeriksaan darah, CT Scan, biasanya tidak kita lakukan, kita langsung masuk ke intervensi untuk penanganannya,” katanya.
Ia menjelaskan gejala yang ditemukan pada anak penderita autis adalah mereka memiliki keterlambatan bicara dan kontak mata yang kurang, tidak dapat bersosialisasi, melakukan beberapa gerakan berulang tanpa tujuan seperti melirik, menjejerkan benda, memutar roda, dan terkadang disertai perilaku hiperaktif.
Dalam beberapa kasus, anak-anak dengan autisme juga suka mengalami alergi makanan seperti susu sapi dan makanan laut. Sehingga penanganannya dilakukan tergantung gejalanya.
Lebih lanjut Rini menjelaskan keparahan autisme sendiri dapat dibagi jadi ringan, sedang dan berat. Dimana pendeteksian keparahan ditentukan menggunakan perangkat skrining berupa kuesioner M-CHAT-R.
Anak yang masuk dalam kategori autis ringan, katanya biasa memiliki gejala dapat melakukan kontak mata meski hanya sebentar. Berbeda dengan kategori sedang dimana anak tidak cuek namun tidak ada kontak mata.
“Tapi, yang sama sekali cuek dan enggak ada kontak mata biasanya kita masukkan kategori autis berat,” katanya.
Terkait dengan kondisinya, terdapat potensi untuk diperbaiki dengan mengembangkan kemampuan anak melalui beberapa jenis terapi. Termasuk pengulangan jenis terapi yang meliputi terapi perilaku, terapi sensorik integrasi, okupasi dan terapi bicara meski memerlukan waktu yang cukup panjang.
“Karena autis itu merupakan gangguan perilaku, jadi penangananya juga harus dengan memperbaiki perilakunya. Terapinya dilakukan dengan berbagai cara, ada terapi sensor integrasi, ada okupasi, ada terapi bicara, dan terapi perilaku,” ujar dia. (pa)